Senin, 10 Agustus 2009

kronologis bentrokan pinangranti

Hidayatullah.com--Siang kemarin, (31/07), warga Kampung Pulo Pinang Ranti Jakarta Timur menggelar konfrensi pers terkait dengan peristiwa bentrokan malam Sabtu dan Ahad lalu. Bentrokan tersebut melibatkan warga Kampung Pulo di satu pihak dengan penghuni kampus Sekolah Tinggi Injili Arastamar (Setia) yang berlokasi di Kampung Pulo. Konfrensi Pers yang dilaksanakan di gedung Karang Taruna itu dihadiri oleh Ketua Rw. 04 Kampung Pulo beserta beberapa tokoh masyarakat dengan disaksikan ratusan warga.

Menurut keterangan Rusman Hadi, juru bicara warga dalam konfrensi pers itu, bentrokan beberapa malam yang lalu itu bukanlah kejadian pertama. Bentrokan pertama sudah terjadi sejak tahun 1991, saat itu warga melakukan aksi penolakan terhadap rencana pembangunan kampus Setia.

Tahun 1993 kembali terjadi aksi penolakan dari warga terhadap keberadaan kampus Setia. Selanjutnya bentrokan ketiga terjadi tahun 1995, diawali dengan aksi penolakan warga terhadap pembangunan asrama Setia kemudian terjadi aksi pemukulan oleh preman sewaan kampus Setia terhadap salah seorang warga. Bentrokan ketiga ini kembali diikuti oleh bentrokan keempat masih pada tahun yang sama dengan alasan yang sama pula.

Adapun mengenai bentrokan tanggal 25 Juli lalu, menurut Risman dipicu oleh tertangkapnya seorang mahasiswa Setia bernama Julius Colii oleh seorang warga bernama Budi. Mahasiswa itu sedang melakukan percobaan pencurian mesin pompa milik Samiranto, warga Kampung Pulo Rt. 02 Rw. 04. pada pukul 22.45. Peristiwa pencurian oleh mahasiswa Setia ini bukan yang pertamakalinya. Menurut Risman, tanggal 07 November 2007 lalu juga pernah terjadi usaha pencurian sepeda motor milik Sugino, salah seorang warga dan anggota kelpolisian Tebet oleh Saverianus, mahasiswa Setia.

Setelah tertangkap Julius kemudian diserahkan warga kepada Ketua Rw. 04, Sapri. Kemudian Sapri menghubungi Polsek Makassar yang segera mengamankan Julius ke Kantor Polsek untuk dimintai keterangan. Setelah Julius diamankan polisi warga yang telah berkumpul bermaksud membubarkan diri. Namun belum sempat membubarkan diri, tiba-tiba terdengar teriakan dari seorang penghuni kampus Setia bernama Alex, ”Awas kalau terjadi apa-apa terhadap Bapak saya, maka saya akan panggil anak-anak Belor (sebutan untuk warga perusuh)”, ujar anak dari Joni, salah satu dosen Setia, ini. mendengar teriakan bernada provokasi itu warga kembali berkumpul untuk menanyakan maksud teriakan Alex tadi. Disamping teriakan itu kemudian datang laporan dari salah seorang warga bernama Robi bahwa rumahnya dilempari batu oleh penghuni kampus Setia. Kejadian itu membuat warga protes. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi kampus Setia dengan maksud meminta pertanggung jawaban dari perbuatan salah seorang penghuninya yang telah merusak rumah salah seorang warga.

Namun begitu sampai di depan kampus Setia, warga disambut dengan lemparan batu dan balok kayu berpaku. Untuk mengantisipasi bentrokan fisik, warga kemudian memanggil pihak kepolisian guna mengamankan wilayah mereka.

Setelah polisi datang, mereka kemudian bernegosiasi dengan pihak Kampus Setia dan meminta untuk diizinkan masuk ke dalam kampus (Mess). Namun permintaan polisi ini ditolak oleh mahasiswa Setia. Penolakan mahasiswa Setia ini memicu terjadinya ketegangan.

Apalagi muncul oknum mahasiswa yang mengaku-ngaku sebagai anggota kepolisian namun ketika diminta Kartu Tanda Anggota tidak dapat menunjukannya. Mereka malah mengancam warga dengan senjata tajam, lemparan batu dan serpihan kaca. Aksi penghuni kampus Setia ini mengakibatkan kerusakan rumah warga dan melukai salah seorang warga. Namun peristiwa ini tidak berlanjut dan suasana perlahan mulai membaik dengan penjagaan ketat aparat kepolisian.

Suasana kondusif itu berubah tegang pada pukul 21.00, ketika sebagian warga sedang melakukan pengajian di masjid Baiturrahim yang berjarak kurang lebih 50 meter dari kampus Setia.

Tiba-tiba seorang mahasiswa Setia melempar masjid dengan batu bata. Setelah melakukan pelemparan pelaku berlari menuju asrama putri. Kelakuan mahasiswa itu mengundang reaksi warga. Mereka kembali berkumpul dan menuju asrama putri untuk meminta pertanggung jawaban. Namun kedatangan warga kali ini kembali disambut dengan lemparan batu, serpihan kaca dan ketapel. Ditambah dengan anak panah besi. Peristiwa ini mengakibatkan 6 warga dan 3 polisi terluka.

Keesokan harinya, Ahad, 27 Juli 2008, dilakukan pengevakuasian penghuni kampus Setia. Proses evakuasi berlangsung bertahap. Mahasiswa yang berada di asrama putri dievakuasi terlebih dulu ke asrama putri, setelah itu baru dievakuasi ke luar Kampung Pulo. Proses evakuasi ini berlangsung aman dan damai dengan dibantu oleh warga sekitar, ”Itu mebuktikan bahwa warga kampung sini cinta damai”, ujar Risman.

Kondom dan Celana Dalam

Setelah membeberkan kronologis kejadian itu, Risman kemudian mengatakan bahwa penolakan warga terhadap keberadaan kampus Setia tidak didasari sedikitpun oleh unsur SARA.

Yang menjadi alasan warga adalah karena keberadaan kampus Setia telah merusak ketenangan warga.

Misalnya, bulan Mei 2008 lalu terjadi bentrokan antar penghuni kampus asal Flores dan Nias. Disamping itu warga juga seringkali diresahkan oleh prilaku mahasiswa yang tidak terpuji, selain usaha pencurian seperti yang telah diceritakan di atas, warga juga seringkali menemukam kondom dan celana dalam di sepanjang jalan sepi di samping Kampung Pulo tempat mahasiswa Setia biasa jalan-jalan. Bentrokan itu juga tegas Risman tidak ada hubungannya dengan minoritas dan mayoritas.

”Buktinya ada juga warga yang berlainan agama dengan mayoritas warga sini yang ikut menandatangani surat pernyataan”, ujarnya.

Rabu (30/7) di beberapa jalan masuk itu berisi tuntutan ditutupnya sekolah tersbut, atau dipindahkan ke lokasi lain.

Menurut warga, mereka merasa lebih tenang senang seluruh mahasiswa di evakuasi keluar dari lokasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar